Muslim di Australia dan Sentimen Pasca Teror Lindt Cafe
Muslim di Australia dan Sentimen Pasca Teror Lindt Cafe
Sydney - Tinggal di negara sekuler menjadi tantangan sendiri bagi
komunitas muslim di Australia. Terlebih lagi mereka mendapatkan cobaan
tambahan pasca terjadinya teror di Lindt Chocolate Cafe di Sydney.
Teror
penyanderaan yang terjadi pada 15-16 Desember 2014 itu dilakukan oleh
Man Haron Monis, seorang muslim warga negara Australia. Aksi Monis
berujung pada tewasnya tiga orang, termasuk si pelaku.
Aksi teror
itu memang berhasil dihentikan dalam kurun waktu kurang dari 48 jam.
Namun teror itu meninggalkan sejumlah imbas, salah satunya ke komunitas
muslim di Australia.
"Sempat muncul sentimen kepada kami yang
mengenakan jilbab. Biasanya itu terjadi ketika kami berada di tempat
atau angkutan umum," kata Sriati Nuch, seorang muslim yang sudah 50
tahun tinggal di Australia, saat ditemui sejumlah wartawan dari
Indonesia di kantor Australian Federation of Islamic Council, Sydney,
Minggu (20/12/2015).
Namun itu hanya dilakukan oleh oknum-oknum warga. Tidak semua warga bersikap serupa. Bahkan ada yang membela.
"Cukup banyak warga yang memberikan perlindungan. Membela kami. Tidak semua seperti itu, itu hanya sikap individu," ujar Sriati.
Ada
pun pemerintah Australia, kata Sriati, tetap bersikap terbuka terhadap
komunitas muslim. Tidak ada perbedaan perlakuan pasca terjadinya teror
di Lindt Cafe tersebut.
Hal senada dilontarkan oleh Amin Hady, Kepala The Foundation of Islamic
Studies and Information. Amin yang juga merupakan petinggi Australian
Federation of Islamic Council ini mengatakan pemerintah Australia
memperlakukan setiap komunitas agama secara adil.
"Australia ini
kan negara sekuler. Pemerintah bersikap netral terhadap agama satu
dengan yang lainnya tidak ada pembedaan. Semua diterima dengan baik,"
ujar Amin.
Pria yang juga kerap diundang untuk menjadi penasihat
pemerintah Australia terkait komunitas muslim ini mengatakan, pemerintah
Negeri Kangguru sebenarnya merasa rentan terhadap serangan teror. Oleh
karena itu pemerintah Australia, kata Amin memberikan anggaran yang
besar untuk kegiatan antiteror.
"Australia punya 65 juta dollar
dana antiteror. 13 juta (dollar) di antaranya dialokasikan untuk
kegiatan pencegahan teror salah satunya deradikalisasi," kata Amin.
Kegiatan
pencegahan terorisme itu, lanjut Amin dilakukan dengan mengirimkan
guru-guru agama Islam dengan kualifikasi tertentu ke sekolah-sekolah.
Guru-guru ini sudah mendapatkan pelatihan khusus.
"Guru-guru yang
dipilih ini adalah guru yang memiliki pengetahuan mengenai Islam secara
utuh. Tidak sepotong-sepotong. Sehingga mencegah gerakan radikalisasi,"
ujar Amin.
Pria lulusan Ponpes Gontor yang sudah menetap di
Australia lebih dari 40 tahun ini mengatakan, meski muslim merupakan
komunitas minoritas di Australia, dinamika kelompok di dalamnya cukup
beragam. Hal itu terkait dengan negara asal mereka.
"Komunitas
muslim paling banyak di sini berasal dari Turki, Lebanon, kemudian
Bangladesh. Setelah itu baru dari Indonesia," kata Amin.
"Kami
juga kaget, ada seorang pemuda dari sini yang katanya pergi liburan ke
Thailand, atau pamit untuk memancing, tahu-tahu ternyata sudah berada di
Suriah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar